Oleh Irwan Safari
Guru SMPN 10
Bengkalis
Mahasiswa S2
Manajemen Pendidikan
Universitas Riau
Pendidikan
adalah aset bangsa yang tidak ternilai harganya dalam kelangsungan pembangunan
yang berkesinambungan menuju masyarakat yang madani. Sehingga kemajuan suatu
bangsa konon dapat diukur dari kemajuan pendidikan yang ada pada bangsa
tersebut. Karena melalui aspek inilah generasi penerus yang berkualitas (Sumber
Daya Manusia) dibentuk sebagai pemegang estafet pembangunan dan penentu arah
bangsa kearah yang lebih baik.
Namun
dalam perkembangannya dunia pendidikan kita masih menampakkan berbagai gejala yang
kurang baik sebagaimana yang diharapkan. Beberapa diantaranya adalah tentang
pelaksanaan UjianNasional (UN). Masih tersiar kabar tentang UN yang tidak
bersih dan jujur. Diberbagai daerah ditemukan kebocoran-kebocoran soal UN
dengan melibatkan oknum-oknum tertentu, bahkan tidak tertutup kemungkinan
keterlibatan para guru dengan segala bentuk kecurangan dalam mengejar target
kelulusan. Dan masalah yang kedua adalah tentang pemahaman terhadap sekolah
unggul atau biasa dikenal dengan istilah sekolah favorit.
Pemahaman
terhadap sekolah unggul yang menjadi fokus pembahasan tulisan ini adalah
sebagaimana kita melihat dan bahkan mungkin mengalami sendiri begitu besarnya
antusiasme masyarakat untuk mengantarkan anak-anak mereka kesekolah- sekolah
yang berlabel unggul seperti SBI, RSBI atau sekolah favorit lainnya. Persaingan
yang sangat ketat sepertinya menjadi keasyikan tersendiri dalam memilih sekolah
tempat generasi bangsa ini dididik. Tingginya biaya yang harus dikeluarkan
tidak menjadi masalah, asalkan anaknya dapat bersekolah di sekolah unggul.
Pada
dasarnya indikator sebuah sekolah ditentukan oleh tiga aspek yaitu Input, Process, dan Output. Dengan kata lain dalam memilih sekolah ketiga aspek
tersebut mesti menjadi acuan dalam mengambil keputusan. Terlebih lagi pada
aspek Process, ini harus benar-benar
secara bijak dilihat. Sebab proses pembelajaran yang dilakukan sangat dominan
terhadap kualitas Output nya.
Dalam
sebuah penelitian yang dilakukan oleh Munif Chatib (Penulis buku Sekolahnya
Manusia) berkerjasama dengan Tom J. Parkins (Mahasiswa Doktoral Harvard
University) pada tahun 2001 diuraikan sebuah temuan yang memprihatinkan tentang
keberadaan sekolah unggul di Indonesia. Menurut Parkins 99% sekolah di
Indonesia menganut BEST INPUT, yakni sekolah yang menitik beratkan pada
penerimaan siswa baru dengan kriteria penyaringan terhadap kemampuan kognitif
siswanya. Sekolah yang seperti ini pada umumnya diakui sebagai sekolah unggul
atau favorit. Ciri-ciri sekolah yang menganut konsep ”BEST INPUT” adalah sebagai
berikut:
·
Menerapkan tes masuk kepada siswa-siswa yang
akan mendaftar ke sekolah tersebut. Tes masuk ini bahkan menilai kemampuan
akademik siswa dan moral siswa. Diharapkan siswa yang diterima adalah siswa-
siswa yang mempunyai nilai akademik positif (baca: pandai) dan moral positif
(baca: baik, tidak nakal).
·
Apabila jumlah siswa yang mendaftar melebihi
jumlah kapasitas sekolah, maka siswa yang berhasil diterima adalah hasil sortir
dari nilai tes masuk yang tertinggi sampai sebatas jumlah kapasitas yang
tersedia. Sedangkan siswa-siswa yang nilainya tidak masuk atau lebih dari
kapasitas sekolah tersebut maka dianggap tidak berhasil diterima di sekolah
tersebut.
·
Biasanya sekolah tersebut tidak lagi menganggap
perlu tahap proses pembelajaran. Terutama para guru sudah merasa cukup mengajar
biasa-biasa saja sebab kebanyakan siswanya pandai-pandai. Biasanya sekolah
tersebut mempunyai guru-guru yang cara mengajarnya konservatif dan tidak
kreatif. Keberhasilan sekolah tersebut pada output lebih disebabkan keunggulan
dan minat siswa dan keluarganya untuk dapat berhasil lulus. Sedangkan peranan
guru dalam keberhasilan siswanya relatif kecil.
Kemudian 1%
adalah sekolah dengan kategori BEST PROCESS, yakni sekolah yang yang tidak
menitik beratkan kepada prestasi kognitif siswa baru melainkan perhatian yaang
baik terhadap proses pemebelajarannya. Beberapa ciri sekolah berkategori Best Process antara lain:
Ø
Sekolah ini tidak menerapkan tes masuk pada
siswa barunya. Biasanya sekolah ini menggunakan sebuah perangkat riset untuk
mengetahuai kondisi kemampuan siswa yang masuk ke sekolah tersebut. Perangkat
ini dikenal dengan Multiple Intelligence Research (MIR) yang mampu mengetahui
banyak dimensi kondisi kemampuan dan kekurangan siswa terutama tentang
bagaimana gaya belajar siswa.
Ø
Sekolah dan guru pada sekolah ini akan
mendapatkan sebuah kenyataan tentang kemampuan akademik dan moral siswa-siswa
barunya sangat beragam. Sehingga hal ini merupakan tantangan bagi guru untuk mengubah
menjadi ke arah positif. Akhirnya guru-guru di sekolah ini dituntut menjadi
”agen perubah” . Mengubah kondisi akademik dan moral siswa yang negatif menjadi
positif. Dan tentunya guru-guru disekolah ini memiliki kreativitas dan inovasi
yang tinggi dalam proses pembelajarannya.
Dengan
demikian dapat dilihat bahwa sangat sedikit sekali (1%) sekolah yang
memperhatikan proses, selebihnya 99% sekolah bertumpu pada kualitas kognitif
siswa barunya. Sehingga paradigma tentang sekolah unggul harus segera dibenahi
oleh semua pihak baik itu pemerintah, masyarakat, dan sekolah itu sendiri.
Semoga***