Sabtu, 18 Desember 2010

Humanisasi Pendidikan

Belakangan ini bangsa ini dihadapkan kepada masalah yang kompleks tentang perilaku dan pola pikir generasi penerus yang semakin hari semakin menghawatirkan di tengah kemajuan dan melajunya proses pembangunan secara umum. Berbagai peristiwa yang terjadi dalam segala aspek kehidupan suatu sisi memberikan harapan yang menggembirakan, namun disisi lain ada hal yang sangat menghawatirkan tentang kelangsungan kehidupan dimasa yang akan datang. Sebagaimana yang selalu kita saksikan melalui media tentang kemerosotan moral, buruknya akhlak, dan hilangnya sosok yang bisa dijadikan teladan. Para generasi bangsa ini seperti sudah sulit dalam menentukan arah dan menemukan acuan tentang segala tindakan yang dilakukan. Tidak banyak lagi yang berkeinginan menggunakan akal fikiran yang jernih dalam menyelesaikan masalah yang muncul. Setiap masalah selalu direspon dengan kekerasan sebagai jalan keluarnya.
Dibelahan bumi Indonesia yang lain para pemangku kebijakan masih tetap bersekukuh untuk bertegang urat leher dalam mempertahankan kebijakan pendidikan yang secara umum masih dikelilingi tanda tanya besar akan manfaat dan efektivitasnya. Sementara itu tujuan pendidikan nasional secara umum adalah untuk membentuk manusia Indonesia yang seutuhnya, generasi yang berakhlak, terampil, berilmu pengetahuan, dan beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan mengacu kepada sebagian kecil dari tujuan ini seyogyanya visi dan misi yang sudah dijelma mampu menjawab berbagai permasalahan yang muncul dalam beberapa waktu terakhir ini. Bangsa ini idealnya dikelola oleh genarasi yang memiliki intensioanal yang jelas tentang pembentukan dan pembinaan generasi yang dapat diandalkan melalui dunia pendidikan.
Lembaga pendidikan memiliki tugas mempersiapkan terbentuknya individu-individu yang cerdas dan berakhlak mulia. Kriteria cerdas dan berakhlak mulia ini yang memungkinkan terwujudnya kehidupan sosial yang ideal, yang diwarnai semangat mengembangkan potensi diri dan memanfaatkannya untuk mencapai kebahagian dan kesejahteraan bersama (Zuchdi, 2008). Dengan demikian perjalanan sejarah bangsa ini “dikemudikan” oleh generasi yang memiliki moral dengan melakukan tindakan yang bermoral.
Namun predikat Negara paling korup di Asia untuk Negara tercinta ini merupakan jawaban yang nyata tentang kualitas akhlak (moral) masyarakat Indonesia secara umum. Selain itu banyak konflik yang terjadi mulai dari skala kecil sampai yang sangat luas juga merupakan fenomena lain di tanah air ini tentang kurangnya individu yang bermoral yang mengaplikasikan tindakan bermoral tersebut.
Sistem pendidikan yang sesuai untuk menghasilkan kualitas masyarakat yang cerdas dan berakhlak mulia (berkarakter baik) adalah yang bersifat humanis (Zuchdi, 2008). Sistem ini menempatkan peserta didik (generasi penerus) sebagai pribadi dan anggota masyarakat yang perlu dibantu dan didorong untuk memiliki kebiasaan efektif, nilai-nilai kehidupan yang positif dan membangun,  perpaduan anatara pengetahuan, keterampilan dan keinginan. Perpaduan yang harmonis antara unsur -unsur tersebut menyebabkan seseorang atau sekelompok orang meninggalkan ketergantungan (dependence) menuju kemandirian (independence), dan saling ketergantungan (interdependence). Hal ini sangat diperlukan dalam mengikuti perubahan zaman yang sangat cepat yang diliputi berbagai masalah yang kompleks. Karena kehidupan yang semakin modern dan kompleks hanya dapat diatasi secara kolaboratif (Zuchdi, 2008).
Pengembangan kebiasaan efektif dilakukan melalui pendidikan dengan membekali peserta didik dalam mengubah persepsi. Kemampuan dalam mengubah persepsi negatif tentang potensi diri yang dimilikinya baik potensi fisik, mental, dan social/ emosional, maupun spiritual. Sebagaimana Covey (1990) mengungkapkan bahwa etika akhlak (character ethic) merupakan landasan keberhasilan yang berupa integritas, kerendahan hati, kesetiaan, keberanian, keadilan, kesopanan, kesabaran,  yang pada prinsipnya adalah upaya memadukan kebiasaan tertentu dengan nilai- nilai yang diperlukan.

Tujuh Kebiasaan Efektif

Kebiasaan merupakan perpaduan antara pengetahuan, keterampilan, dan keinginan (Zuchdi, 2008). Pengetahuan merupakan paradigma teoritis, apa yang dilakukan dan mengapa dilakukan. Sementara keterampilan adalah cara melakukan, dan keinginan merupakan motivasi, dorongan untuk mengerjakan. Supaya memiliki suatu kebiasaan, ketiga hal tersebut harus dikuasai. Sistem pendidikan yang humanis memberikan wadah terhadap penguasaan pengetahuan, keterampilan, dan motivasi. Karena sistem ini berorientasi pada proses pembelajaran yang menyatakan penggunaan pendidikan nilai komprehensif yang meliputi inklusi nilai (inculcation), pemodelan (modeling), fasilitasi (facilitation), dan pengembangan keterampilan (skill building). Secara rinci pemerolehan fragmen- fragmen tersebut tertuang dalam tujuh kebiasaan efektif sebagai berikut:
a.      Proaktif; proaktif berarti berinisiatif yang merupakan cerminan adanya tanggung jawab terhadap kehidupan sendiri.
b.      Mulai dengan memikirkan tujuan; orang yang memiliki kebiasaan ini mulai dengan pemahaman yang jelas tentang tujuan hidupnya. Karena hidup ini akan lebih bermakna apabila kita benar-benar mengetahui apa yang penting bagi kita dan selalu menyadari hal itu, kemudian mengelola diri sendiri untuk mengerjakan hal yang benar-benar penting.
c.       Prinsip manajemen pribadi; manajemen diri menghasilkan kepuasan, yakni kesesuaian antara realisasi dengan harapan yang dikelola dengan kompetensi pribadi.
d.      Prinsip komunikasi empatik; komunikasi merupakan keterampilan yang penting dalam kehidupan. Namun akan lebih sempurna bila kebiasaan memahami orang lain terlebih dahulu baru minta dipahami oleh orang lain terealisasi dalam keterampilan komunikasi yang dimiliki.
e.      Bersinergi; sinergi adalah esensi kepemimpinan yang berpusat kepada prinsip (principle centred leadership). Hakikat senergi adalah menghargai perbedaan, mengormati perbedaan tersebut, memanfaatkan kelebihan, dan mengompensasi kekurangan. Dengan demikian terbentuklah suatu prinsip kerja sama yang kreatif.
f.        Prinsip pembaruan diri secara seimbang; Shepherd mengutarakan bahwa kehidupan seimbang yang sehat adalah yang didasarkan pada nilai persepktif (spiritual), otonomi (mental), kebersamaan (social), dan suasana (fisik).
Investasi pendidikan yang mahal akan lebih terjamin dapat menjawab tantangan kompleksitas perubahan dengan mengembalikan pendidikan pada porsi memberikan bantuan kepada manusia sebagai manusia. Zuchdi (2008) mengatakan bahwa humanisasi pendidikan perlu segera dijadikan misi setiap jenjang pendidikan di Indonesia, supaya nilai- nilai dasar untuk mencapai keberhasilan benar- benar dijadikan landasan dalam pembentukan akhlak bangsa.