Belakangan
ini bangsa ini dihadapkan kepada masalah yang kompleks tentang perilaku dan
pola pikir generasi penerus yang semakin hari semakin menghawatirkan di tengah
kemajuan dan melajunya proses pembangunan secara umum. Berbagai peristiwa yang
terjadi dalam segala aspek kehidupan suatu sisi memberikan harapan yang
menggembirakan, namun disisi lain ada hal yang sangat menghawatirkan tentang
kelangsungan kehidupan dimasa yang akan datang. Sebagaimana yang selalu kita
saksikan melalui media tentang kemerosotan moral, buruknya akhlak, dan
hilangnya sosok yang bisa dijadikan teladan. Para generasi bangsa ini seperti
sudah sulit dalam menentukan arah dan menemukan acuan tentang segala tindakan
yang dilakukan. Tidak banyak lagi yang berkeinginan menggunakan akal fikiran
yang jernih dalam menyelesaikan masalah yang muncul. Setiap masalah selalu
direspon dengan kekerasan sebagai jalan keluarnya.
Dibelahan
bumi Indonesia yang lain para pemangku kebijakan masih tetap bersekukuh untuk
bertegang urat leher dalam mempertahankan kebijakan pendidikan yang secara umum
masih dikelilingi tanda tanya besar akan manfaat dan efektivitasnya. Sementara
itu tujuan pendidikan nasional secara umum adalah untuk membentuk manusia
Indonesia yang seutuhnya, generasi yang berakhlak, terampil, berilmu
pengetahuan, dan beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan
mengacu kepada sebagian kecil dari tujuan ini seyogyanya visi dan misi yang
sudah dijelma mampu menjawab berbagai permasalahan yang muncul dalam beberapa
waktu terakhir ini. Bangsa ini idealnya dikelola oleh genarasi yang memiliki
intensioanal yang jelas tentang pembentukan dan pembinaan generasi yang dapat
diandalkan melalui dunia pendidikan.
Lembaga
pendidikan memiliki tugas mempersiapkan terbentuknya individu-individu yang
cerdas dan berakhlak mulia. Kriteria cerdas dan berakhlak mulia ini yang
memungkinkan terwujudnya kehidupan sosial yang ideal, yang diwarnai semangat
mengembangkan potensi diri dan memanfaatkannya untuk mencapai kebahagian dan
kesejahteraan bersama (Zuchdi, 2008). Dengan demikian perjalanan sejarah bangsa
ini “dikemudikan” oleh generasi yang memiliki moral dengan melakukan tindakan
yang bermoral.
Namun
predikat Negara paling korup di Asia untuk Negara tercinta ini merupakan
jawaban yang nyata tentang kualitas akhlak (moral) masyarakat Indonesia secara
umum. Selain itu banyak konflik yang terjadi mulai dari skala kecil sampai yang
sangat luas juga merupakan fenomena lain di tanah air ini tentang kurangnya
individu yang bermoral yang mengaplikasikan tindakan bermoral tersebut.
Sistem
pendidikan yang sesuai untuk menghasilkan kualitas masyarakat yang cerdas dan
berakhlak mulia (berkarakter baik) adalah yang bersifat humanis (Zuchdi, 2008).
Sistem ini menempatkan peserta didik (generasi penerus) sebagai pribadi dan
anggota masyarakat yang perlu dibantu dan didorong untuk memiliki kebiasaan
efektif, nilai-nilai kehidupan yang positif dan membangun, perpaduan anatara pengetahuan, keterampilan
dan keinginan. Perpaduan yang harmonis antara unsur -unsur tersebut menyebabkan
seseorang atau sekelompok orang meninggalkan ketergantungan (dependence) menuju kemandirian (independence), dan saling
ketergantungan (interdependence). Hal
ini sangat diperlukan dalam mengikuti perubahan zaman yang sangat cepat yang
diliputi berbagai masalah yang kompleks. Karena kehidupan yang semakin modern
dan kompleks hanya dapat diatasi secara kolaboratif (Zuchdi, 2008).
Pengembangan
kebiasaan efektif dilakukan melalui pendidikan dengan membekali peserta didik
dalam mengubah persepsi. Kemampuan dalam mengubah persepsi negatif tentang
potensi diri yang dimilikinya baik potensi fisik, mental, dan social/
emosional, maupun spiritual. Sebagaimana Covey (1990) mengungkapkan bahwa etika
akhlak (character ethic) merupakan
landasan keberhasilan yang berupa integritas, kerendahan hati, kesetiaan,
keberanian, keadilan, kesopanan, kesabaran, yang pada prinsipnya adalah upaya memadukan
kebiasaan tertentu dengan nilai- nilai yang diperlukan.
Tujuh Kebiasaan Efektif
Kebiasaan
merupakan perpaduan antara pengetahuan, keterampilan, dan keinginan (Zuchdi,
2008). Pengetahuan merupakan paradigma teoritis, apa yang dilakukan dan mengapa
dilakukan. Sementara keterampilan adalah cara melakukan, dan keinginan
merupakan motivasi, dorongan untuk mengerjakan. Supaya memiliki suatu
kebiasaan, ketiga hal tersebut harus dikuasai. Sistem pendidikan yang humanis
memberikan wadah terhadap penguasaan pengetahuan, keterampilan, dan motivasi. Karena
sistem ini berorientasi pada proses pembelajaran yang menyatakan penggunaan
pendidikan nilai komprehensif yang meliputi inklusi nilai (inculcation), pemodelan (modeling),
fasilitasi (facilitation), dan
pengembangan keterampilan (skill
building). Secara rinci pemerolehan fragmen- fragmen tersebut tertuang
dalam tujuh kebiasaan efektif sebagai berikut:
a. Proaktif; proaktif
berarti berinisiatif yang merupakan cerminan adanya tanggung jawab terhadap
kehidupan sendiri.
b. Mulai
dengan memikirkan tujuan; orang yang memiliki kebiasaan ini
mulai dengan pemahaman yang jelas tentang tujuan hidupnya. Karena hidup ini
akan lebih bermakna apabila kita benar-benar mengetahui apa yang penting bagi
kita dan selalu menyadari hal itu, kemudian mengelola diri sendiri untuk
mengerjakan hal yang benar-benar penting.
c. Prinsip
manajemen pribadi; manajemen diri menghasilkan kepuasan, yakni
kesesuaian antara realisasi dengan harapan yang dikelola dengan kompetensi
pribadi.
d. Prinsip
komunikasi empatik; komunikasi merupakan keterampilan yang penting dalam
kehidupan. Namun akan lebih sempurna bila kebiasaan memahami orang lain
terlebih dahulu baru minta dipahami oleh orang lain terealisasi dalam
keterampilan komunikasi yang dimiliki.
e. Bersinergi; sinergi
adalah esensi kepemimpinan yang berpusat kepada prinsip (principle centred leadership). Hakikat senergi adalah menghargai
perbedaan, mengormati perbedaan tersebut, memanfaatkan kelebihan, dan
mengompensasi kekurangan. Dengan demikian terbentuklah suatu prinsip kerja sama
yang kreatif.
f.
Prinsip pembaruan diri secara seimbang; Shepherd
mengutarakan bahwa kehidupan seimbang yang sehat adalah yang didasarkan pada
nilai persepktif (spiritual), otonomi (mental), kebersamaan (social), dan
suasana (fisik).
Investasi pendidikan yang mahal akan lebih
terjamin dapat menjawab tantangan kompleksitas perubahan dengan mengembalikan
pendidikan pada porsi memberikan bantuan kepada manusia sebagai manusia. Zuchdi
(2008) mengatakan bahwa humanisasi pendidikan perlu segera dijadikan misi
setiap jenjang pendidikan di Indonesia, supaya nilai- nilai dasar untuk
mencapai keberhasilan benar- benar dijadikan landasan dalam pembentukan akhlak
bangsa.